Asal-usul nama Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula La Madukelleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabung ayam.
Pada
pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan
acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo.
Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa
pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan
berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak
dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone
menuntut kepada Wajo agar La
Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas
perbuatannya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia
memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone,
karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau
meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh
Kerajaan Bone.
La
Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung;
ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badikuntuk bertarung, dan
ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir
kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng
beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa
Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung,La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala,
dan La Manrappi
Daeng Punggawa berangkat dari Paneki, dan pada awalnya menetap
di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah
Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama
sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat
menjadi Raja di Kerajaan Wajo.
Namun,
setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi
Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone,
banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak
rombongan La Madukelleng untuk berlayar menuju tanah
Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona
menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal
berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang
Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam
perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.
Dalam
keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering
mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara
gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan
sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E : suara gemuruh).
Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering
menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal
bakal sebutan Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya
ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim
di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk
mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot sekitar tahun 1829 M. Hal ini
dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan
strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan
permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk meminta izin membangun
sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam
permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah
Geroro-E maka pada akhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut
lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya
waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai setelah dihuni oleh orang
Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang
menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penduduk tersebut lebih
dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur
dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan
bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya
waktu dan semakin banyaknya penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus
berkembang pesat. Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959
pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukota Kabupaten
Paser.
makanan khas paser saat ini cukup
banyak salah satu diantaranya adalah pisang rimpi/selai, rimpi adalah makanan
camilan yang terbuat dari pisang khususnya gepok/pisang yang berbiji yang
diolah dengan cara mengasapi pisang diatans bara/arang kayu hingga berwarna
kecoklatan dan mengeluarkan aroma yang khas terasa manis dan lezat, makanan
rimpi ini bisa dimakan langsung atau digoreng terlebih dahulu dengan tepung dan
dihidangkan hangat-hangat bersama kopi/teh,produk ini dapat ditemukan di pasar2
tradisional dengan harga Rp 3000,00 -5000,00 perbungkus apabila berminat
silahkan datang kepaser.
0 komentar:
Posting Komentar